KARAKTERISTIK FILSAFAT ISLAM
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Bapak Kasmuri
DisusunOleh
:
1. Danik Indah Sari (1401036016)
2. ‘Ainy Nur Syarifah (1401036021)
3. Irwan Habibil Wahib (1401036073)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat adalah
merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat mendasar, sehingga semua
disiplin ilmu yang lain akan membutuhkan pijakan filsafat. Dengan demikian,
kajian ilmiah yang terdapat dalam ilmu pengetahuan akan ditemukan hakikat,
seluk beluk, dan sumber pengetahuan yang mendasarinya. Kita akan menemukan
filsafat bersarang dimana – mana. Dalam ilmu pendidikan ada filsafat
pendidikan, Dalam agama ada filsafat agama, sebagaimana dalam Islam ada
filsafat Islam, dalam hukum ada filsafat hukum, dalam sejarah ada filsafat
sejarah, dalam sosiologi ada pula filsafat social, dalam politik ada filsafat
politik, dan dalam kehidupan sehari – hari pun ada filsafat kehidupan.
Pada dasarnya, filsafat mengajarkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu,
makhluk social, dan makhluk tuhan yang untuk diaplikasikan dalam hidup.
Secara umum, studi
filsafat bertujuan untuk menjadikan manusia yang susila. Orang yang susila
dianggap sebagai ahli filsafat, ahli hidup, dan orang yang bijaksana. Sementara
itu, tujuan khususnya adalah menjadikan manusia berilmu. Dalam hal ini ahli
filsafat dipandang sebagai orang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan yang
selalu mencari kenyataan kebenaran dari semua problem pokok keilmuan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
karakteristik filsafat islam?
2. Bagaimana perbedaan filsafat Islam dengan
filsafat barat?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik
Filsafat Islam
Karakteristik
merupakan sesuatu yang mengacu kepada karakter yang berisi nilai-nilai yang
berkembang secara teratur. Filsafat Islam adalah berfikir secara
sistematis dan universal tentang
hakikat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Dengan kata lain filsafat yang
berorientasi pada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi
berdasarkan wahyu Allah.
Tampilnya filsafat Islam di arena
pemikiran merupakan hasil interaksi agama Islam dengan faktor ekstern. Faktor
ekstern yang dimaksud adalah budaya dan tradisi non Islam yang sepanjang
sejarah diwakili oleh Eropa dibelahan Barat, serta India, Iran, dan Cina di
belahan Timur[1]
Kalau kita lacak dalan khazanah
Islam, buku-buku yang menguraikan ihwal filsafat Islam, memang sudah cukup
banyak ditulis. Akan tetapi hampir selalu saja terkesan adanya beberapa aspek
yang terasa kurang puas. Akhirnya, setiap karya seperti itu memuat daftar
panjang istilah-istilah filsafat Islam yang patut di dihargai dan harus
apresiasi secara mendalam.
Haidar
Bagir tidak mau ketinggalan, ia pernah menghadirkan sebuah karya yang dijuduli “Buku
Saku Filsafat Islam” (2005), yang sekalipun dinamai “saku” namun
buku tersebut cukup memadahi untuk mengantarkan kita memahami filsafat Islam
secara holistik. Islam sebagai sebuah sumber peradaban, dipandang ikut
meletakkan “prosesi batu pertama” bangunan budaya dan peradaban modern yang
saat ini berkembang pesat di Barat. Di abad pertengahan itulah Islam merupakan
juru ‘penyelamat’ bagi peradaban Yunani, Persia dan Romawi dengan cara
menerjemahkannya ke dalam bahasa dan tradisi Islam.
Kemajuan
Islam era pertengahan tidak saja mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan
tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan pengetahuan sebelumnya. Hal ini
dibuktikan dengan hasil usaha kreatif cendikiawan muslim seperti al-Kindi, Ibn
Sina, al-Farabi, al-Razi dan setelahnya, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan
mereka, juga melahirkan teori dan pengetahuan orisinil yang sama sekali baru.
Pusat
urat syarafnya berada di akademi terbesar pada masa itu, yaitu Akademi Jundi
Shapur, di Persia bagian Tenggara. Bahkan bukan itu saja, setelah lahirnya
Islam dan penaklukan Persia oleh orang-orang Arab, perkembangan kebudayaan
terpenting dalam Islam, misalnya bidang sains, teknologi, matematika, logika,
filsafat, kimia, musik, etika, geografi, bahkan teologi dan sastra, adalah
kontribusi pemikir dan cendikiawan Persia yang pada permulaan Abad-abad Islam
telah menulis dalam bahasa Arab dan atas nama Islam.
Filsafat
Islam memiliki karakteristik sekaligus sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya,
terdapat tiga karakteristik yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini,
yaitu peripatetisme (Masysya’iyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan
teosofi transenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Ketiga karakteristik
tersebut sudah sering dikaji oleh para sarjana muslim[2]
Filsafat memang tidak
bisa dihubungkan dengan ajektif tertentu, namun ngan ruang sejarah ada banyak
variabel kultural yang saling tumpang tindih dan saling berkaitan satu dengan
lain yang ikut mewarnai filsafat. Konsekuensinya,serasa mustahil sebuah
pemikiran filsafat dapat berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur
yang lain.[3]
Untuk mengetahui dan mengenal filsafat lebih jauh, maka kita harus
mengetahui karakter filsafat yang dirumuskan pada empat macam. Yaitu:
1.
Skeptisis
Skeptisis adalah sikap keragu-raguan terhadap suatu kebenaran sebelum
memperoleh argumen yang kuat terhadap kebenaran tersebut. Dan sikap skeptisis
ini dapat dikelompokkan kepada tiga bagian, yaitu:
a) Bersifat gradusi. Yaitu sikap ragu yang naik menjadi yakin.
b) Bersifat degradasi. Yaitu sikap yakin yang turun menjadi ragu.
c) Bersifat bertahan. Yaitu tetap pada posisi semula.
Skeptisisme yang dimaksud dalam filsafat ialah didalam
bentuk yang pertama, yaitu graduasi.
Rene Descartes yang merupakan salah seorang tokoh
filsafat dipandang sebagai figur, dengan ucapannya, “cogito ergo
sum” (saya berfikir maka saya ada). Kemudian Descartes menganjurkan agar
setiap konsep / kebenaran, walau telah diketahui kebenarannya tetapi harus
diragukan terlebih dahulu sebelum memperoleh argumentasi yang kuat terhadap
kebenaran tersebut.
Oleh karena itulah sikap skeptisisme Descartes
bersifat metodologis, yaitu secara metode, segala sesuatu harus
diragukan terlebih dahulu untuk menganalisanya lebih dalam, sehingga memperoleh
argumentasi tentang kebenaran sesuatu.
Dalam kaitannya dengan agama, skeptisisme memiliki
makana eksklusif , yaitu bukan meragukan kebenaran ajaran agama. Karena hal itu
bertentangan dengan ajaran agama sendiri, melainkan meragukan kemampuan
manusia dalam memperoleh kebenaran tersebut. Dengan kata lain, adanya kebenaran
tidak diragukan, yang diragukan ialah kemampuan memperoleh kebenaran tersebut.[4]
2.
Komunalisme
Komunalisme berasal dari kata komunal yang
berarti umum. Maksudnya ialah hasil pemikiran filsafat adalah milik masyarakat
umum. Tidak memandang ras, kelas ekonomi, dan lain-lain. Misalnya, hasil pemikiran Yunani
bisa dimanfaatkan oleh orang Asia, Eropa, Afrika, dan lain-lainnya. Terlepas dari sesuai atau
tidaknya pemikiran tersebut dengan situasi dan kondisi dimana
filsafat itu dipraktikkan.
3.
Desintrestednes
Berasal dari kata interest yang
berarti kepentingan, kemudian diberi awalan dis yang berarti
tidak. Disinterestedness berarti suatu kegiatan (aktifitas) kefilsafatan tidak
dimotivasi dan tidak bertujuan untuk kepentingan tertentu.
Jadi, seorang filsuf adalah seorang
pemikir bebas, sesuai apa adanya bukan bagaimana seharusnya. Disinilah
keberadaan seorang filsuf diuji. Ia bertugas “menjelaskan dunia” atau bahkan
“merubah dunia”. Dengan kata lain, filsuf tidak berada pada status
mempertahankan, melainkan menjelaskan dan merobahnya kepada kondisi ideal.
Inilah pengertian filsafat sebagaimana yang dikemukakan oleh Radhakrisnan,
seorang filsuf India:
“It’s task of philosophy not merely to reflect the spirit of the in
which but to lead it forward”
(tugas filsafat bukan
sekedar mencerminkan semangat masa dimana kita hidup, melainkan membimbingnya untuk maju). Kemudian dalam ungkapan yang lain, Karl
Marx member tugas filsuf untuk merubah dunia.[5]
Seperti dalam ungkapannya:
“The philosopher have only interpered the world
in differen way, but howefer is to change it”
(tugas seorang filsuf tidak hanya sekedar menjelaskan dunia, melainkan
sekaligus merubahnya).[6]
4.
Universalisme
Istilah universalisme berasal dari kata universal yang
berarti menyeluruh. Yaitu berfilsafat adalah hak seluruh ummat manusia secara
umum. Perbedaanya dengan komunalisme ialah pada isinya. Jika komunalisme
mengandung makna bahwa isi / hasil temuan filsafat menjadi milik semua ummat
manusia kapan dan dimana saja. Sedangkan universalisme berbicara dari segi
hak.. yaitu semua manusia berhak melakukan kajian filsafat.
Keempat karakter ini dapat disimpulkan dengan untaian
kata berikut:
“Tanah tak
bertuan, Bumi tak berbatas, laut tak berdalam, dan samudera tak bertepi”.
Dengan menerapkan karakter ini, seorang filsuf akan melahirkan sikap
keutamaan dalam dirinya berupa kebijakan kedalam pemahaman dan kepuasan.[7]
B.
Perbedaan Filsafat Islam Dengan Filsafat
Barat
Perbedaan
isu-isu filsafat Islam dan Barat
1.
Isu-isu filsafat Islam
- Moral
Berbeda
yang kami jelaskan pada filsafat moral dari barat yakni dari seorang filosof
David Hume, yang akan dibahas berikut. Namun sekarang adalah pembahasan
mengenai pandangan filsafat moral dari seorang filsafat Islam Abu Bakar
Muhammad bin Zakaria Ar-Razi (864-925M), yang lebih dikenal dengan Ar-Razi.
Ar-Razi,
menjelaskan tentang filsafat moralnya itu dengan baik, ia menjelaskan tentang
tindakan-tindakan, atau sifat-sifat buruk, seperti iri hati, dusta, dan ia juga
menjelaskan tentang kebahagiaan, kesenangan dan yang lainya.
Ia
dalam teorinya tentang kesenangan, menjelaskan bahwa kebahagiaan ialah
kembalinya apa yang telah tersingkir dari kemudharatan, seperti orang yang
meninggalkan tempat teduh menuju tempat yang terkena sinar matahari yang panas
akan senang ketika kembali ketempat teduh.
Keseluruhan
etikanya difokuskan pada himbauan akal yang mengontrol hawa nafsu, yaitu
penting memerangi, dan menekan dan mengendalikan hawa nafsu. Mungkin inilah
perbedaanya dengan David Hume yang mengatakan moralitas itu tidak ada kaitanya
dengan akal. Sedangkan Ar-Razi yang sudah dikatakan diatas akal yang
memfokuskan kajianya mengenai ini dengan himbauan akal. Dari sini kita sudah
bisa menemukan perbedaanya antara David Hume dari filsafat Barat dan Ar-Razi
dari filsafat Islam.
2. Jiwa
Pada
pembahasan jiwa kali ini mengenai pandangan filsafat Islam tentang jiwa, ada
beberapa tokoh filosof yang kami sajikan salah satunya dari ikhwan Ash-Shafa.
Ikhwan
Ash-Shafa juga mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur, yang
pertama adalah tubuh yang bersifat materi yang terdiri dari air, tanah, api dan
udara. Kemdian yang kedua adalah jiwa yang bersifat immateri. Masuknya jiwa
kedalam tubuh yaitu karena jiwa melakukan kesalahan seperti Nabi Adam As dan
Hawa. Karena kesalahan itu jiwa yang tadinya dialam rohani turun kebumi dan
merasuk ketubuh, yang tadinya punya banyak pengetahuan karena masuk kedalam
tubuh jiwa menjadi lupa, jadi mengetahui apa-apa. Yang ada hanyalah pengetahuan
secara potensi. Namun karena jiwa memiliki tubuh jadi ia bisa kembali
mendapatkan dan menerima pengetahuan secara actual.
Ketika
jiwa itu kembali menerima dan mendapatkan pengetahuan dengan benar, jiwa
manusia menjadi suci, dalam hal ini ia menyebutnya sebagai malaikat dalam
potensi, kemudian ketika manusia mengalami kematian lepasnya jiwa dari tubuh,
barulah jiwa mengaktual menjadi malaikat. Sebaliknya jika jiwa manusia
kebanyaan dosa dan kotor, maka disebut setan dalam potensi, kemudian setelah
mati barulah jiwa mengaktual menjadi setan.
Berbeda
dengan Nasiruddin Ath-Thusi (1201M) yang membagi jiwa kedalam tiga bagian yaitu
jiwa manusiawi, hewani, dan yang terakhir jiwa imajinatif. Jiwa manusiawi
ditandai dengan adanya akal, dari sini ia membagi akal toeritis dan akal
praktis. Akal teoritis merupakan potensialitas, yang perwujudanya adalah konsep
yang menjadi nyata terlihat dan pengetahuan. Sedangkan akal praktis itu terkait
dengan tindakan-tindakan yang disengaja atau tidak disengaja.
Jiwa
imajinatif berkaitan dengan gambaran-gambaran rasa atau perasaan, yang mana
jika ia disatukan dengan jiwa hewani yang terjadi adalah kehancuran karena jiwa
hewani itu hanya mendorong kita akan kepuasan dan kesenangan (hawa atau nafsu).
Namun jika disatukan dengan yang jiwa manusiawi maka akan akan ikut bergembira
atau bersedih bersema jiwa itu.
Ar-Razi
membagi tentang manusia itu badan dan roh atau jiwa, orang-orang yang mengatakan
hal ini berbeda pendapat dalam penetapan spesifik ini:
a)
Empat
macam komponen atau campuran yang kemudian mewujudkan badan ini.
b)
Maksudnya
adalah darah.
c)
Roh
yang lembut dan muncul disisi kiri dari hati, dan mengakses sel-sel keseluruh
anggota badan.
d)
Roh
yang naik didalam hati ke otak, kemudian membentuk proses yang selaras untuk
menerima kekuatan menghafal dan berfikir dan mengingat.
e)
Fisik
yang berbeda dengan badan yang dapat diraba ini yang bersifat tinggi, ringan,
hidup, yang menyebar kesuluruh tubuh dan memberi pengaruhnya yang berupa rasa
dan gerakan.
Bisa
kita bandingkan dengan pembahasan jiwa yang dibahas Plato dengan teori jiwa
tripatitnya yang kami bahas berikut, mungkin terlihat sama dengan milik
At-Thusi namun dalam istilah berbeda, tapi Ath-Thusi sedikit lebih lengkap
karena ia membagi lagi konsep jiwa manusiawinya yang dalam istilah pembahasan
Plato disebut akal. Sedangkan Ikhwan Ash-Shafa agak sedikit sederhana. Dan
Ar-Razi yang berbeda penjelasanya dan pembagianya, namun ada sedikit kesamaan.
1.
Kenabian
Banyak
pandangan mengenai teori kenabian menurut beberapa filosof, beberapa teori ini
beraneka ragamnya, dari mulai Ar-Razi, Al-Farabi, Ibn miskawih, sampai
Nasiruddin At-Thusi. Kami mewakilkan teori kenabian berdasarkan para filosof
ini.
Ar-Razi
adalah seorang filsafat rational murni. Ia berpendapat bahwa manusia itu tidak
butuh nabi dalam bukunya Naqd al-adyan au fi al-nubuwwah (kritik
terhadap agama-agama atau kenabian) nabi tidak boleh atau tidak berhak
mengklaim bahwa dirinya itu mempunyai keistimewaan, karena semua manusia dimana
Tuhan itu adalah sama, yang membedakan adalah pendidikan dan perkembanganya.
Setiap bangsa hanya percaya pada nabinya saja dan tidak mengakui nabi yang
lain, dan fanatik terhadap agamanya, sehingga menimbulkan perpecahan dan
kekacauan.
Mungkin
karena pendapatnya yang ekstrim ini bukunya-bukunya dimusnahkan. Tapi perlu
digaris bawahi bahwa ia adalah seorang filosof rasional murni. Banyak orang
beranggapan bahwa Ar-Razi itu zindik bukan Islam. Menurut Abd al-Lathif
Muhammada al-Abad, mereka tidak melihat karya-karyanya yang lain, Ar-Razi
mengakui adanya Tuhan yang Maha Bijaksana dan hari akhir bahkan dalam kitabnya Sirr
al asrar atau Bar’u al sa’an ia tidak lupa shalawat kepada nabi.
Al-Farabi
dengan teori kenabianya itu karena termotivisir pemikiran filosof sebelumnya
yang berpendapat bahwa manusia tidak butuh nabi, karena filosof juga bisa
menangkap hal-hal yang diluar jangkauan indera dan sehingga dapat berhubungan
dengan akal 10 (jibril).
Menurutnya
manusia dapat berhubungan dengan akal Fa’al itu dengan dua cara: pertama
penalaran, renungan pikiran dan kemudian yang kedua adalah imajinasi, intuisi
atau ilham. Cara yang pertama itu hanya mungkin diraih oleh orang-orang pilihan
yang sudah melatih akalnya, dalam hal ini kita sebut filosof. Sedangkan cara
yang kedua itu hanya nabi yang bisa karena mempunyai daya intuisi yang tinggi,
disamping itu nabi dianugerahi akal dengan kekuatan suci, dan nabi juga
berhubungan dengan akal 10 secara langsung.
Al-Farabi
mennjelaskan bahwa perbedaan antara filosof dan nabi itu adalah bahwa setiap
nabi itu filosof, namun setiap filosof belum tentu nabi.
2. Isu-isu
filsafat Barat.
1.
Moral
David
Hume (1711-1776) seorang tokoh utama empirisme, yang mengatakan bahwa manusia
tidak mungkin mengetahui sesuatu atau pengetahuan diluar pengalaman. Dairi sini
maka sudah tentu Hume menyankal segala masalah metafisika.
Mengenai
masalah etika atau moral hume mengatakan bahwa tidak ada yang baik dan buruk,
artinya dalam penilaian suatu kejadian atau tindakan itu pada dirinya tidak ada
baik dan tidak ada buruk (jahat). Yang ada ada adalah penilaian dari emosi atau
perasaan kita mengenai suatu kejadian itu. Contohnya adalah ketika ada seorang
anak memukul ayahnya, dalam kejadian ini itu sesungguhnya tidak baik atau
buruk, artinya baik dan buruk itu tidak kelihatan. Barulah ketika emosi atau
perasaan kita bereaksi dengan spontan menilai ini seperti ini, atau itu seperti
itu.
Hume
menyatakan moralitas itu tidak ada kaitanya dengan akal budi. Misalkan kita
contohkan ketika kita marah pada seorang teman kita karena suatu hal, tentunya
teman kita adalah objek sasaran kita, tapi kita malah menluapkan kemarahan kita
dengan tindakan merusak tanaman atau memukul pohon, tentunya tindakan ini tidak
rational. Atau ketika kita merasa takut setentgah mati ketika melihat bayangan yang
besar, padahal itu hanyalah bayangan dari seseorang atau suatu benda, ini juga
tidak rasional. Maka dari itu ia mengatakan bahwa pandangan moral itu tidak ada
sangkut pautnya dengan akal. Kemudian mengenai penilaian-penilaian moral juga
tidak ada hubunganya dengan akal. Nilai-nilai moral atau tindakan baik atau
jahat itu tidak melekat pada sifat orang itu dan tindakanya, karena ini hanya
merupakan reaksi dari pengamat yang menilainya.
2.
Jiwa
Plato
mengamati bahwa manusia itu mempunyai esensi. Disamping tubuh (raga) manusia
juga mempunyai jiwa, dan ini bukan merupakan hal yang sederhana. Manusia
mempunyai tiga elmen, yang pertama adalah yang membedakan manusia dengan yang
lainya yaitu akal untuk berfikir, dan kemampuan menggunakan bahasa, kemudian
yang kedua adalah elmen rohaniah yaitu rasa benci, cinta, ambisi, semangat,
kemarahan, melindungi diri dan yang lainya, kemudian yang terakhir yaitu yang
ketiga adalah nafsu badaniah ang berupa dorongan untuk memuaskan hasrat, dan
kebutuhan.
Plato
menjelaskan ketiga elmen tersebut bahwa elmen pertama yaitu akal adalah
tingkatan paling tinggi karena dapat menilai dan mengetahui mana yang benar dan
mana yang salah, oleh karena itu akal menduduki tingkatan pertama, kemudian
tingkatan yang kedua itu adalah elmen rohaniah dam yang terakhir itu adalah
hawa nafsu merupakan elemen pada tingkatan terendah. Teori ini disebut dengan
teori jiwa tripatit.
Jadi
bisa dilihat dari penjelasan singkat mengenai teori jiwa tripatit ini, kita
bisa tarik kesimpulan karena kemampuan manusia dalam tingkah berfikir itu
berbeda-beda, buktinya ada yang bisa menjadi dokter, filosof, bahkan tukang
cuci dsb. Tergantung manusia itu sendiri menggunakan akalnya seberapa jauh.
Begitu juga mengenai hawa nafsu dan kerohaniaan, manusia mempunyai kecendrungan
berbeda, dan juga tingkatanya.[8]
Filsafat Islam merupakan filsafat
yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara
filsafat Islam dengan filsafat lain.
a. Filsfat yang merupakan sumber pemikiran ilmiah Yunani
hanya didasarkan pada hipotesis-hipotesis dan pendapat-pendapat, sedangkan
ilmu-ilmu islam mendasarkanpeyelidikan mereka atas dasar pengamatan dan
percobaan.
b. Rang-orang \yunani mengagap bahwa pengeahuan indrawi
berkedudukan lebih rendah daripada rasio. Jadi, pengetahuan indrawi kurang
dapat diandalkan sehingga mereka tidakmendirka laboratorium-laboratorium.
Ilmuwan-ilmuwan muslim tetap mengandalkan pemikiran rasional, namun mereka
melakukan pembuktian melalui pengamatan dan percobaan.oleh karenaitu mereka
mereka mendirkan laboratorium-laboratorum.
c. Orang-orang yunani hanya berfikir secara deduktif.
Kaum muslimin diajari oleh Al Quran supaya berfikir induktif dngan perintah
dengan memperhatikan alam sekitarnya.
d. Ilmu-ilmu Yunani hanya sekadar sekumpulan informasi.
Lmu-ilmu kaum muslimin merupakan keseluruhan pengetahuan yang berdasarkan hukum
dan teori.
e. Yunani dalam jangka waktu 12 abad hanyamelahirkan
berapa gelintir ilmuwan saja, sedangkan islam hanya dengan 6 atau 7 abad saja
telah melahirkan ribuan ilmuwan besar dan menjadi peletak dasarilmu-ilmu
modern.
f. Yunani hanyameninggalkan beberapa buah buku bernilai.
Sedangkan islam telah meninggalkan beberapa ribuan karya tulis besar yang
menjadi standar kajian ilmuwan eropa di perguruan tinggi (universitas) mereka
sampai kini.[9]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat adalah merupakan salah satu
disiplin ilmu yang sangat mendasar, sehingga semua disiplin ilmu yang lain akan
membutuhkan pijakan filsafat. Filsafat Islam adalah berfikir secara sistematis dan universal tentang hakikat segala
sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Dengan
kata lain filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an, mencari
jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.
Tampilnya filsafat Islam di arena pemikiran merupakan hasil interaksi agama
Islam dengan faktor ekstern. Faktor ekstern yang dimaksud adalah budaya dan
tradisi non Islam yang sepanjang sejarah diwakili oleh Eropa dibelahan Barat,
serta India, Iran, dan Cina di belahan Timur. Karakter filsafat yang dirumuskan pada
empat macam, yaitu:
a.
Skeptisis adalah sikap keragu-raguan terhadap suatu kebenaran sebelum memperoleh argumen yang kuat
terhadap kebenaran tersebut.
b. Komunalisme berasal dari kata komunal yang berarti umum.
Maksudnya ialah hasil pemikiran filsafat adalah milik masyarakat umum. Tidak
memandang ras, kelas ekonomi, dan lain-lain.
c.
Disinterestedness berarti suatu kegiatan
(aktifitas) kefilsafatan tidak dimotivasi dan tidak bertujuan untuk kepentingan
tertentu.
d. Universalisme adalah berfilsafat adalah hak seluruh ummat manusia secara umum.
Perbedaan filsafat islam dengan filsafat barat ada
dua, yang pertama meski semula
filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama
Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat
Islam justru Tuhan ‘sudah ditemukan.
B.
Kritik dan Saran
Dengan memanjatkan puji
syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan hidayahNya kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna, karena terbatasnya pengetahuan
dan kurangnya rujukan atau referensi yang terkait dengan judul makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran serta masukan yang membangun senantiasa kami
harapkan dan semoga kita bisa mengambil hikmah dan pembelajaran kali ini. Amin
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi penyusunnya lebih-lebih kepada pembacanya.
[2] http://uinsite.uin-malang.ac.id/blog/2011/02/karakteristik-filsafat-islam
[3]
Ilyas supena, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2013) hal.33.
[5] Harry Hamersma, Tokoh – Tokoh Filsafat Barat
Modern, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1984) hal.145.
[6] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta:
Rajawali Press, 1986) hal.87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar