Rabu, 07 Juni 2017

Makalah Santri Priyai Abangan



MAKALAH
SANTRI PRIYAI ABANGAN
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Ilmu Politik
Dosen Pengampu : H. Adib, S.Ag., M.Si.


Disusun oleh :
              Ghoyatul Qoshwa                   1401036001
               Nuristi Uswatun Khasanah     1401036007
               Desy Ana Roifa                     1401036015
               Danik Indah Sari                    1401036016
               Nur Fatimah                          1401036081
               Riza Maulana                         14010360
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maka suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan saja oleh partai-partai politik berbasis Islam saja melainkan juga partai-partai politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati dari kalangan Islam yang menjadi pengikut setia kyai, banyak partai politik yang menempatkan kyai dan tokoh pesatren pada jajaran pengurus partai dengan harapan dapat menjadi vote getter dalam pemilu.
Kecenderungan ini di satu sisi memperluas akses politik kalangan Islam. Sedikit banyak hal ini tentu juga memberikan perluasan pengaruh Islam pada berbagai kelompok politik, sebagaimana ditandai dengan munculnya sayap Islam dalam PDIP. Di sisi lain, situasi ini juga melahirkan fragmentasi politik yang unik di kalangan umat Islam sendiri, berupa terulangnya oportunisme politik di kalangan tokoh-tokoh politik Islam sebagaimana pengalaman era 1950-an. Pergulatan politik antar tokoh Islam sendiri memperlihatkan kuatnya oportunisme di kalangan politisi muslim. Perbedaan afiliasi politik menjadikan mereka nyaris tidak pernah satu suara dalam menyikapi berbagai persoalan politik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian politik aliran?
2.      Apa pengertian dari kiai, santi dan abangan?
3.      Bagaimana peran kyai, satri dan abangan dalam ilmu politik?


II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Aliran Politik
Politik aliran berasal dari kata politik dan aliran. Politik, artinya segala urusan dan tindakan (kebijakan dan siasat) mengenai pemerintahan negara atau cara bertindak atau kebijakan dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Adapun aliran, artinya haluan, pendapat, paham politik, dan pandangan hidup (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Jadi, politik aliran adalah sebagai suatu kebijakan atau siasat yang dijadikan haluan paham politik atau pandangan hidup oleh seseorang atau kelompok masyarakat. Misalnya, masyarakat Indonesia sepakat menetapkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. hal lainnya adalah bangsa Indonesia sepakat menetapkan sistem demokrasi Pancasila sebagai asas kedaulatan rakyat Indonesia.
Berkembangnya kehidupan politik (sistem politik) terjadi sebagai konsekuensi adanya kehidupan masyarakat yang majemuk dan pelapisan sosial (stratifikasi sosial) di samping proses-proses sosial yang lain. Konsep tentang politik muncul dalam kehidupan masyarakat terutama dari lapisan kelas atas (penguasa atau kaum elit) dalam usaha mengatur, mengorganisasikan, dan mempersatukan segenap lapisan masyarakat. Dengan demikian, dapat dicapai keseimbangan kekuasaan, keseimbangan dalam kesejahteraan, ketertiban, keamanan dan keteraturan dalamhidupbermasyarakat.
Perkembangan politik aliran berkaitan dengan kemajemukan masyarakat dalam ras, agama, suku bangsa, klan, profesi, jenis kelamin dan budaya. Berkembangnya politik aliran berhubungan erat dengan terjadinya primordialisme dalam kehidupan bermasyarakat. Kuatnya ikatan primordial dalam masyarakat Indonesia dapat dilihat dari adanya beberapa hal, seperti adanya sentimen kedaerahan, sentimen kesukuan, serta sentimen keagamaan, ras, dan provinsialisme yang masih tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Berkembangnya politik aliran dalam masyarakat majemuk ternyata menghambat proses integrasi sosial karena diwarnai oleh konflik yang bersifat sentrifugal dan sulit dikendalikan. Konflik tersebut melibatkan ideologi, agama, suku bangsa, atau sentimen kedaerahan.

B.     Pengertian Kyai, Santri dan Abangan

a.        Pengertian Kyai
Kyai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan akhlak yang sesuai dengan ilmunya. Menurut Saiful Akhyar Lubis, menyatakan bahwa “Kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pondok pesantren, maju mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang kyai. Karena itu, tidak jarang terjadi, apabila sang kyai di salah satu pondok pesantren wafat, maka pamor pondok pesantren tersebut merosot karena kyai yang menggantikannya tidak sepopuler kyai yang telah wafat itu”.[1]
Menurut Abdullah ibnu Abbas, kyai adalah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah SWT adalah Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu.[2]
Menurut Mustafa al-Maraghi, kyai adalah orang-orang yang mengetahui kekuasaan dan keagungan Allah SWT sehingga mereka takut melakukan perbuatan maksiat. Menurut Sayyid Quthb mengartikan bahwa kyai adalah orang-orang yang memikirkan dan menghayati ayat-ayat Allah yang mengagumkan sehingga mereka dapat mencapai ma`rifatullah secara hakiki. Menurut Nurhayati Djamas mengatakan bahwa “kyai adalah sebutan untuk tokoh ulama atau tokoh yang memimpin pondok pesantren”.[3]
Sebutan kyai sangat populer digunakan di kalangan komunitas santri. Kyai merupakan elemen sentral dalam kehidupan pesantren, tidak saja karena kyai yang menjadi penyangga utama kelangsungan sistem pendidikan di pesantren, tetapi juga karena sosok kyai merupakan cerminan dari nilai yang hidup di lingkungan komunitas santri. Kedudukan dan pengaruh kyai terletak pada keutamaan yang dimiliki pribadi kyai, yaitu penguasaan dan kedalaman ilmu agama, kesalehan yang tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari yang sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan menjadi ciri dari pesantren seperti ikhlas,  tawadhu`, dan orientasi kepada kehidupan ukhrowi untuk mencapai riyadhah.
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata tergantung kemampuan kepribadian kyainya.
Menurut asal-usulnya perkataan kyai dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda :
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap kramat ; umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Kraton Yogyakarta.
2. Gealar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
Islam yang memiliki atau yang menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santri. Selain gelar kyai, ia juga disebut dengan orang alim (orang yang dalam pengetahuan keislamanya).[4]
Para kyai dengan kelebihan pengetahuanya dalam islam, sering kali dilihat orang yang senantiasa dapat memahami keagungan  Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang  tidak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang  awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka  dalam bentuk berpakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban.
Seorang pendidik atau kyai mempunyai kedudukan layaknya orang tua dalam sikap kelemah-lembutan terhadap murid-muridnya, dan kecintaannya terhadap mereka. Dan ia bertanggung jawab terhadap semua muridnya dalam perihal kehadiran kyai atau pendidik. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”  (HR. Mutafaq Alaih).[5]
b.      Pengertian Santri
Menurut penelitian Johns, istilah kata “santri” berasal dari bahasa tamil yang berarti “guru mengaji”. Sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata “shastri”, yang dalam bahasa India berarti “orang yang mengetahui buku-buku suci agama hindu”. Pendapat ini didukung oleh Karel. A. Steenbrink, yang menyatakan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, memang mirip dengan pendidikan ala Hindu di India.[6]
Ada juga yang berpendapat bahwa kata “santri” berasal dari kata sastri, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang artinya “melek huruf” alias  bisa membaca. Pendapat ketiga mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa jawa, dari kata cantrik, yang berarti “seseorang yang selalu mengikuti gurunyaa kemanapun gurunya pergi atau menetap.”[7]
Terlepas dari asal usul kata santri, jika ditelusuri secara mendalam, maka kata “santri” mengandung beberapa arti:
Pertama; tiga matahari. Pengertian ini diambil dari kata san dan tri. “san” adalah bahasa inggris yang sudah diIndonesiakan, yang asalnya adalah Sun (matahari). Sedangkan “tri” juga bahasa inggris yang berarti tiga. Sehingga bila disusun, santri mengandung arti “tiga matahari”. Adapun yang dimaksud tiga matahari itu adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Ini menunjukkan bahwa santri adalah orang yang berpegang teguh pada Iman, Islam, Ihsan.
Kedua; arti santri adalah jagalah tiga hal. Pengertian ini mengambil dari kata “San” dan “Tri” juga. “San” adalah bahasa arab yang sudah di-Indonesiakan, yang berasal dari kata Sun (jagalah). Sedangkan “Tri” adalah bahasa Inggris yang berartikan tiga. Jika disusun, mengandung arti “jagalah tiga hal”. Tiga hal tersebut adalah, (1) jagalah ketaatan kepada Allah,(2) Jagalah ketaatan kepada Rasul-Nya dan (3) para pemimpin.
Ketiga: jika ditulis dengan tulisan arab, maka kata “santri” terdiri dari lima huruf, yaitu : Ø³, Ù†, ت, ر, ÙŠ. Artinya ialah:
1)   سِÙŠْÙ†َ  (sin) asalnya yaitu Ø³َتْرُ الْعَÙˆْرَØ©ِ  (menutup aurat). Arti ini memberi kepahaman bahwa santri termasuk orang yang selalu menutup aurat sekaligus berpakaian sopan.
2)   Ù†ُÙˆْÙ† (nun) asalnya  Ù†َÙ‡ْÙŠُ عَÙ†ِ الْÙ…ُÙ†ْÙƒَرِadalah (meninggalkan maksiat). Pengertian ini menunjukkan bahwa kata santri adalah orang yang meninggalkan perbuatan maksiat.
3)   رَاءْ(ra’) asalnya ialah  ØªَرْÙƒُ الْÙ…َعَاصِÙŠْ(menjaga diri dari hawa nafsu). Ini berarti para santri adalah orang yang selalu menjaga hawa nafsunya, agar tidak terjerembab dalam kenistaan.
4)   )  ياَØ¡ْ Ya) asalnya yaitu  ÙŠَÙ‚ِÙŠْÙ†ٌ(yakin atau mantab). Hal ini memberi pemahaman bahwa santri adalah orang yang selalu yakin dan mantap dengan cita-citanya. Karena para santri umumnya meyakini salah satu kandungan ndham imrithi:
Sedangkan menurut Dr. KH. M.A Sahal Mhafud, yang menilai kata santri berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata “santaro”, yang berarti “menutup”. Kalimat ini mempunyai bentuk jamak (plural) sanaatir (beberapa santri).
Sementara KH. Abdullah Dimyathy (alm) dari Pandeglang Banten, berpendapat bahwa kata santri mengimplementasikan fungsi manusia, dengan 4 huruf yang dikandungnya : sin = “satrul al aurah” (menutup aurat), Nun = “na’ibul ulama” (wakil dari ulama), Ta’ = “tarkul al ma’ashi” (meningglkan kemaksiatan), Ra’ = “ra’isul ummah” (pemimpin ummah).[8]
c.       Pengertian Abangan
Abangan adalah sebagai penduduk jawa muslim yang mempraktikkan islam dalam versi yang lebih sinkretik bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks.[9] Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser.  Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contohMartin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir.
Berdasarkan cerita masyarakat, kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih adalah "yang tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syari'at (Bahasa Jawasarengat) adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang berarti warna merah.[10]

C.    Peran Kyai, satri dan abangan dalam Ilmu Politik

 Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maka suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan saja oleh partai-partai politik berbasis Islam saja melainkan juga partai-partai politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati dari kalangan Islam yang menjadi pengikut setia kyai, banyak partai politik yang menempatkan kyai dan tokoh pesatren pada jajaran pengurus partai dengan harapan dapat menjadi vote getter dalam pemilu.
Kembali pada pokok persoalan, dalam wacana politik di Indonesia, peran kiyai sangat strategis tetapi juga dilematis. Sebagai elit politik, sesuai dengan paham Sunni, kiyai wajib mentaati pemerintah. Sebagai elit agama, kiyai mempunyai kewajiban untuk menegakkan nilai-nilai agama dengan cara amar makruf nahi munkar. Pada saat yang sama, kiyai sebagai interpreteter ajaran agama yang pandangan dan pemikirannya menjadi referensi. Sebagai elit sosial, kiyai menjadi panutan dan sekaligus pelindung masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah. Multi peran seperti inilah yang seringkali menjadikan kiyai bersikap serba salah dan dilematis. Peran dan tanggung jawab kiyai terhadap agama, negara dan masyarakat secara bersamaan, tidak jarang menimbulkan benturan kepentingan yang menjadikan pada posisi sulit. Pada saat hubungan pemerintah dengan rakyat tidak harmonis, di mana dominasi negara sangat kuat, kiyai yang tidak membela dan memperjuangkan kepentingan masyarakat akan dijauhi oleh masyarakat dan santrinya. Hal ini berarti kiyai akan kehilangan sumber otoritas, kewibawaan dan legitimasi sebagai kiyai, yang apabila tidak dimanaj dengan baik, kiyai akan kehilangan posisi daya tawarnya, tidak hanya di hadapan pemerintah, tetapi di hadapan masyarakat.
Meski tidak sekeras fragmentasi politik era 1950-an, sikap partisan kyai dan tokoh-tokoh pesantren dalam politik praktis telah memetakan masyarakat Islam ke dalam beberapa kelompok politik yang tidak sepaham. Pada era 1950-an peran kyai masih sangat berpengaruh dalam menentukan sikap politik pengikutnya dari kalangan santri. Masih menyatunya misi politik mereka vis a vis kelompok politik komunis ataupun nasionalis menjadikan sentimen politik dan ideologis sekaligus dapat dengan mudah dieksploitasi tokoh-tokoh keagamaan dengan dalih memperjuangkan misi politik Islam. Kuatnya imperasi situasi politik yang diliputi kentalnya kepentingan ideologis menempatkan kyai dan tokoh-tokoh pesantren sebagai acuan sikap politik ataupun sumber opini bagi kalangan Islam.
Meminjam identifikasi Geertz, kyai dan santri merupakan bagian dari kelompok masyarakat Islam khususnya di pulau Jawa yang memiliki kesadaran keislaman yang lebih utuh dan lurus dibanding dua kelompok lainnya, abangan dan priyayi. Komunitas santri sendiri diidentifikasi Geertz merupakan bentukan komunitas kyai, khususnya melalui lembaga pesantrennya. Meski lekat dengan tradisi-tradisi mistis-asketik khas Hindu Jawa mereka termasuk kelompok penganut Islam yang taat dalam menjalankan syari’ah Islam.[11]
Antara santri dan kyai terdapat sebuah pola relasi emosional layaknya tradisi feodal, tetapi tanpa struktur dan tingkatan politis yang sofistikatif seperti galibnya tradisi serupa dalam pemerintahan kerajaan. Kyai dan keluarganya memiliki posisi sosial dan kultural yang tinggi dibanding kebanyakan kaum santri. Menurut Irsan sebagaimana diulas Marijan, tradisi tersebut bertumpu pada tiga pilar utama. Pila-pilar tersebut terdiri dari basis massa yang merupakan pola struktur sosialnya, basis ulama yang merepresentasikan struktur kepemimpinan serta basis tradisi yang secara kultural menjadi semacam sistem budaya yang mengikat visi keilmuan maupun belbagai etiket keislaman yang mereka anut.[12]





III.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
politik aliran adalah sebagai suatu kebijakan atau siasat yang dijadikan haluan paham politik atau pandangan hidup oleh seseorang atau kelompok masyarakat.
Kyai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan akhlak yang sesuai dengan ilmunya.
Santri adalah orang yang berpegang teguh pada Iman, Islam, Ihsan.
Abangan adalah sebagai penduduk jawa muslim yang mempraktikkan islam dalam versi yang lebih sinkretik bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks.
Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maka suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan saja oleh partai-partai politik berbasis Islam saja melainkan juga partai-partai politik berbasis nasionalis.










DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Ringkasan Shahih Muslim Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006).
Dhofier, Zamakhsyari,  Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES, 1982).
Djamas, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca kemerdekaan,
(Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, 2008).
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarkat Jawa. (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983).
Lubis, Saiful Akhyar, Konseling Islami Kyai dan Pesantren, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2007).
Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta. Par Mas Dewa, Kiai Juga Manusia, Mengurai Plus Minus Pesantren; Kiai, Gus, Neng, Pengurus & Santri. (Probolinggo,PUSTAKA EL-QUDSI, 2009).
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU, (Surabaya: Erlangga, 1992).
Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa. (Jakarta: Inis.1988), amadina. Mastuhu, 1999).
Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik santri, (Yogyakarta: Rinneka SIPRESS, 1992).
Rasyid, Hamdan, Bimbingan Ulama; Kepada Umara dan Umat, (Jakarta: Pustaka Beta, 2007).


[1] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami Kyai dan Pesantren, (Yogyakarta, eLSAQ Press,
2007), hlm. 169.
[2] Hamdan Rasyid, Bimbingan Ulama; Kepada Umara dan Umat,  (Jakarta: Pustaka Beta,
2007), hlm. 18.
[3] Nurhayati Djamas,  Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca kemerdekaan,
(Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, 2008), hlm. 55.

[4] Zamakhsyari  Dhofier,  Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,  (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 56.
[5] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 8.
[6] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai), hlm.18.

[7] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta. Paramadina. Mastuhu, 1999), hlm.19-20.
[8] Mas Dewa, Kiai Juga Manusia, Mengurai Plus Minus Pesantren; Kiai, Gus, Neng, Pengurus & Santri. (Probolinggo,PUSTAKA EL-QUDSI, 2009), hlm.23 – 25.
[9] Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa. (Jakarta: Inis.1988), hlm.10.
[10] Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarkat Jawa. (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983), hlm.16.
[11] Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik santri, (Yogyakarta: Rinneka SIPRESS, 1992), hlm. 1
[12] Kacung Marijan, Quo Vadis NU, (Surabaya: Erlangga, 1992), hlm. 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar