MAKALAH
SANTRI PRIYAI ABANGAN
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Ilmu Politik
Dosen Pengampu : H. Adib, S.Ag., M.Si.
Disusun oleh :
Ghoyatul Qoshwa 1401036001
Nuristi Uswatun Khasanah 1401036007
Desy Ana Roifa 1401036015
Danik Indah Sari 1401036016
Nur Fatimah 1401036081
Riza Maulana 14010360
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan
sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap
Pemilihan Umum (Pemilu) maka suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan
saja oleh partai-partai politik berbasis Islam saja melainkan juga
partai-partai politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati dari kalangan
Islam yang menjadi pengikut setia kyai, banyak partai politik yang menempatkan
kyai dan tokoh pesatren pada jajaran pengurus partai dengan harapan dapat
menjadi vote getter dalam pemilu.
Kecenderungan ini di satu sisi memperluas akses
politik kalangan Islam. Sedikit banyak hal ini tentu juga memberikan perluasan
pengaruh Islam pada berbagai kelompok politik, sebagaimana ditandai dengan
munculnya sayap Islam dalam PDIP. Di sisi lain, situasi ini juga melahirkan
fragmentasi politik yang unik di kalangan umat Islam sendiri, berupa
terulangnya oportunisme politik di kalangan tokoh-tokoh politik Islam
sebagaimana pengalaman era 1950-an. Pergulatan politik antar tokoh Islam
sendiri memperlihatkan kuatnya oportunisme di kalangan politisi muslim.
Perbedaan afiliasi politik menjadikan mereka nyaris tidak pernah satu suara
dalam menyikapi berbagai persoalan politik.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian politik aliran?
2.
Apa
pengertian dari kiai, santi dan abangan?
3.
Bagaimana
peran kyai, satri dan abangan dalam ilmu politik?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aliran Politik
Politik aliran berasal dari kata politik dan aliran. Politik, artinya segala urusan
dan tindakan (kebijakan dan siasat) mengenai pemerintahan negara atau cara bertindak
atau kebijakan dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Adapun aliran, artinya haluan, pendapat,
paham politik, dan pandangan hidup (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2001). Jadi, politik aliran adalah sebagai suatu kebijakan atau
siasat yang dijadikan haluan paham politik atau pandangan hidup oleh seseorang
atau kelompok masyarakat. Misalnya, masyarakat Indonesia sepakat menetapkan prinsip
Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. hal lainnya adalah bangsa Indonesia sepakat menetapkan sistem demokrasi Pancasila
sebagai asas kedaulatan rakyat Indonesia.
Berkembangnya kehidupan politik (sistem
politik) terjadi sebagai konsekuensi adanya kehidupan masyarakat yang majemuk
dan pelapisan sosial (stratifikasi sosial) di samping proses-proses sosial yang lain. Konsep
tentang politik muncul dalam kehidupan masyarakat terutama dari lapisan
kelas atas (penguasa atau kaum elit) dalam usaha mengatur, mengorganisasikan,
dan mempersatukan segenap lapisan masyarakat. Dengan demikian, dapat dicapai
keseimbangan kekuasaan, keseimbangan dalam kesejahteraan, ketertiban, keamanan
dan keteraturan dalamhidupbermasyarakat.
Perkembangan politik aliran berkaitan dengan kemajemukan
masyarakat dalam ras, agama, suku bangsa, klan, profesi, jenis kelamin dan
budaya. Berkembangnya politik aliran berhubungan erat dengan terjadinya
primordialisme dalam kehidupan bermasyarakat. Kuatnya ikatan primordial dalam masyarakat Indonesia dapat dilihat dari adanya beberapa hal, seperti adanya
sentimen kedaerahan, sentimen kesukuan, serta sentimen keagamaan, ras, dan
provinsialisme yang masih tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Berkembangnya politik aliran dalam masyarakat majemuk ternyata
menghambat proses integrasi
sosial karena diwarnai oleh konflik yang bersifat sentrifugal dan sulit dikendalikan.
Konflik tersebut melibatkan ideologi, agama, suku bangsa, atau sentimen
kedaerahan.
B.
Pengertian Kyai, Santri dan Abangan
a.
Pengertian Kyai
Kyai adalah
orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan akhlak yang sesuai dengan
ilmunya. Menurut Saiful Akhyar Lubis, menyatakan bahwa “Kyai adalah tokoh
sentral dalam suatu pondok pesantren, maju mundurnya pondok pesantren
ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang kyai. Karena itu, tidak jarang
terjadi, apabila sang kyai di salah satu pondok pesantren wafat, maka pamor
pondok pesantren tersebut merosot karena kyai yang menggantikannya tidak
sepopuler kyai yang telah wafat itu”.[1]
Menurut
Abdullah ibnu Abbas, kyai adalah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah SWT
adalah Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu.[2]
Menurut Mustafa
al-Maraghi, kyai adalah orang-orang yang mengetahui kekuasaan dan keagungan
Allah SWT sehingga mereka takut melakukan perbuatan maksiat. Menurut Sayyid
Quthb mengartikan bahwa kyai adalah orang-orang yang memikirkan dan menghayati
ayat-ayat Allah yang mengagumkan sehingga mereka dapat mencapai ma`rifatullah
secara hakiki. Menurut Nurhayati Djamas mengatakan bahwa “kyai adalah sebutan
untuk tokoh ulama atau tokoh yang memimpin pondok pesantren”.[3]
Sebutan kyai
sangat populer digunakan di kalangan komunitas santri. Kyai merupakan elemen
sentral dalam kehidupan pesantren, tidak saja karena kyai yang menjadi
penyangga utama kelangsungan sistem pendidikan di pesantren, tetapi juga karena
sosok kyai merupakan cerminan dari nilai yang hidup di lingkungan komunitas
santri. Kedudukan dan pengaruh kyai terletak pada keutamaan yang dimiliki
pribadi kyai, yaitu penguasaan dan kedalaman ilmu agama, kesalehan yang
tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari yang sekaligus mencerminkan nilai-nilai
yang hidup dan menjadi ciri dari pesantren seperti ikhlas, tawadhu`, dan orientasi kepada kehidupan ukhrowi
untuk mencapai riyadhah.
Kyai merupakan
elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan
merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren
semata-mata tergantung kemampuan kepribadian kyainya.
Menurut
asal-usulnya perkataan kyai dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar
yang saling berbeda :
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap kramat
; umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada
di Kraton Yogyakarta.
2. Gealar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
Islam yang
memiliki atau yang menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam
klasik kepada para santri. Selain gelar kyai, ia juga disebut dengan orang alim
(orang yang dalam pengetahuan keislamanya).[4]
Para kyai
dengan kelebihan pengetahuanya dalam islam, sering kali dilihat orang yang
senantiasa dapat memahami keagungan
Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki
kedudukan yang tidak terjangkau,
terutama oleh kebanyakan orang awam.
Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk berpakaian yang merupakan simbol
kealiman yaitu kopiah dan surban.
Seorang
pendidik atau kyai mempunyai kedudukan layaknya orang tua dalam sikap
kelemah-lembutan terhadap murid-muridnya, dan kecintaannya terhadap mereka. Dan
ia bertanggung jawab terhadap semua muridnya dalam perihal kehadiran kyai atau pendidik.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian
adalah pemimpin. Dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya.” (HR. Mutafaq Alaih).[5]
b.
Pengertian
Santri
Menurut penelitian Johns, istilah
kata “santri” berasal dari bahasa tamil yang berarti “guru mengaji”. Sedangkan
C.C Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata “shastri”, yang
dalam bahasa India berarti “orang yang mengetahui buku-buku suci agama hindu”.
Pendapat ini didukung oleh Karel. A. Steenbrink, yang menyatakan bahwa
pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, memang mirip
dengan pendidikan ala Hindu di India.[6]
Ada juga yang berpendapat bahwa
kata “santri” berasal dari kata sastri, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang
artinya “melek huruf” alias bisa membaca. Pendapat ketiga mengatakan
bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa jawa, dari kata
cantrik, yang berarti “seseorang yang selalu mengikuti gurunyaa kemanapun
gurunya pergi atau menetap.”[7]
Terlepas dari asal usul kata
santri, jika ditelusuri secara mendalam, maka kata “santri” mengandung beberapa
arti:
Pertama; tiga matahari. Pengertian ini diambil dari kata san dan tri. “san” adalah
bahasa inggris yang sudah diIndonesiakan, yang asalnya adalah Sun (matahari).
Sedangkan “tri” juga bahasa inggris yang berarti tiga. Sehingga bila disusun,
santri mengandung arti “tiga matahari”. Adapun yang dimaksud tiga matahari itu
adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Ini menunjukkan bahwa santri adalah orang yang
berpegang teguh pada Iman, Islam, Ihsan.
Kedua; arti santri adalah jagalah tiga
hal. Pengertian ini mengambil dari kata “San” dan “Tri” juga. “San” adalah
bahasa arab yang sudah di-Indonesiakan, yang berasal dari kata Sun (jagalah).
Sedangkan “Tri” adalah bahasa Inggris yang berartikan tiga. Jika disusun,
mengandung arti “jagalah tiga hal”. Tiga hal tersebut adalah, (1) jagalah
ketaatan kepada Allah,(2) Jagalah ketaatan kepada Rasul-Nya dan (3) para
pemimpin.
Ketiga: jika ditulis dengan tulisan
arab, maka kata “santri” terdiri dari lima huruf, yaitu : س, Ù†, ت, ر, ÙŠ. Artinya ialah:
1)
سِÙŠْÙ†َ (sin) asalnya yaitu سَتْرُ الْعَÙˆْرَØ©ِ (menutup aurat). Arti ini
memberi kepahaman bahwa santri termasuk orang yang selalu menutup aurat
sekaligus berpakaian sopan.
2)
Ù†ُÙˆْÙ† (nun) asalnya Ù†َÙ‡ْÙŠُ عَÙ†ِ الْÙ…ُÙ†ْÙƒَرِadalah (meninggalkan maksiat).
Pengertian ini menunjukkan bahwa kata santri adalah orang yang meninggalkan
perbuatan maksiat.
3)
رَاءْ(ra’) asalnya ialah تَرْÙƒُ الْÙ…َعَاصِÙŠْ(menjaga diri dari hawa nafsu).
Ini berarti para santri adalah orang yang selalu menjaga hawa nafsunya, agar
tidak terjerembab dalam kenistaan.
4)
) ياَØ¡ْ Ya) asalnya yaitu ÙŠَÙ‚ِÙŠْÙ†ٌ(yakin atau mantab). Hal ini memberi pemahaman bahwa santri
adalah orang yang selalu yakin dan mantap dengan cita-citanya. Karena para
santri umumnya meyakini salah satu kandungan ndham imrithi:
Sedangkan menurut Dr. KH. M.A
Sahal Mhafud, yang menilai kata santri berasal dari bahasa arab, yaitu dari
kata “santaro”, yang berarti “menutup”. Kalimat ini mempunyai bentuk jamak
(plural) sanaatir (beberapa santri).
Sementara KH. Abdullah Dimyathy
(alm) dari Pandeglang Banten, berpendapat bahwa kata santri mengimplementasikan
fungsi manusia, dengan 4 huruf yang dikandungnya : sin = “satrul al aurah”
(menutup aurat), Nun = “na’ibul ulama” (wakil dari ulama), Ta’ = “tarkul al
ma’ashi” (meningglkan kemaksiatan), Ra’ = “ra’isul ummah” (pemimpin ummah).[8]
c. Pengertian Abangan
Abangan adalah sebagai penduduk jawa muslim yang
mempraktikkan islam dalam versi yang lebih sinkretik bila dibandingkan dengan
golongan santri yang lebih ortodoks.[9] Istilah
ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali
digunakakan oleh Clifford
Geertz, namun saat
ini maknanya telah bergeser. Abangan cenderung mengikuti sistem
kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat
tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang
secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan
bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan
praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir.
Berdasarkan cerita masyarakat,
kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain.
Arti aba'an kurang lebih adalah "yang tidak
konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu
memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak
menjalankan syari'at (Bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba'an atau
abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa
Jawa abang yang berarti warna merah.[10]
C.
Peran
Kyai, satri dan abangan dalam Ilmu Politik
Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan
sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap
Pemilihan Umum (Pemilu) maka suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan
saja oleh partai-partai politik berbasis Islam saja melainkan juga
partai-partai politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati dari
kalangan Islam yang menjadi pengikut setia kyai, banyak partai politik yang
menempatkan kyai dan tokoh pesatren pada jajaran pengurus partai dengan harapan
dapat menjadi vote getter dalam pemilu.
Kembali pada pokok persoalan, dalam wacana politik di
Indonesia, peran kiyai sangat strategis tetapi juga dilematis. Sebagai elit
politik, sesuai dengan paham Sunni, kiyai wajib mentaati
pemerintah. Sebagai elit agama, kiyai mempunyai kewajiban untuk menegakkan
nilai-nilai agama dengan cara amar makruf nahi munkar. Pada
saat yang sama, kiyai sebagai interpreteter ajaran agama yang pandangan dan
pemikirannya menjadi referensi. Sebagai elit sosial, kiyai menjadi panutan dan
sekaligus pelindung masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah.
Multi peran seperti inilah yang seringkali menjadikan kiyai bersikap serba
salah dan dilematis. Peran dan tanggung jawab kiyai terhadap agama, negara dan
masyarakat secara bersamaan, tidak jarang menimbulkan benturan kepentingan yang
menjadikan pada posisi sulit. Pada saat hubungan pemerintah dengan rakyat tidak
harmonis, di mana dominasi negara sangat kuat, kiyai yang tidak membela dan
memperjuangkan kepentingan masyarakat akan dijauhi oleh masyarakat dan
santrinya. Hal ini berarti kiyai akan kehilangan sumber otoritas, kewibawaan
dan legitimasi sebagai kiyai, yang apabila tidak dimanaj dengan baik, kiyai
akan kehilangan posisi daya tawarnya, tidak hanya di hadapan pemerintah, tetapi
di hadapan masyarakat.
Meski tidak sekeras fragmentasi politik era 1950-an,
sikap partisan kyai dan tokoh-tokoh pesantren dalam politik praktis telah
memetakan masyarakat Islam ke dalam beberapa kelompok politik yang tidak
sepaham. Pada era 1950-an peran kyai masih sangat berpengaruh dalam menentukan
sikap politik pengikutnya dari kalangan santri. Masih menyatunya misi politik
mereka vis a vis kelompok politik komunis ataupun nasionalis
menjadikan sentimen politik dan ideologis sekaligus dapat dengan mudah
dieksploitasi tokoh-tokoh keagamaan dengan dalih memperjuangkan misi politik
Islam. Kuatnya imperasi situasi politik yang diliputi kentalnya kepentingan ideologis
menempatkan kyai dan tokoh-tokoh pesantren sebagai acuan sikap politik ataupun
sumber opini bagi kalangan Islam.
Meminjam
identifikasi Geertz, kyai dan santri merupakan bagian dari kelompok
masyarakat Islam khususnya di pulau Jawa yang memiliki kesadaran keislaman yang
lebih utuh dan lurus dibanding dua kelompok lainnya, abangan dan priyayi.
Komunitas santri sendiri diidentifikasi Geertz merupakan
bentukan komunitas kyai, khususnya melalui lembaga pesantrennya. Meski
lekat dengan tradisi-tradisi mistis-asketik khas Hindu Jawa mereka termasuk
kelompok penganut Islam yang taat dalam menjalankan syari’ah Islam.[11]
Antara santri dan kyai terdapat sebuah pola relasi
emosional layaknya tradisi feodal, tetapi tanpa struktur dan tingkatan politis
yang sofistikatif seperti galibnya tradisi serupa dalam pemerintahan kerajaan.
Kyai dan keluarganya memiliki posisi sosial dan kultural yang tinggi dibanding
kebanyakan kaum santri. Menurut Irsan sebagaimana diulas Marijan,
tradisi tersebut bertumpu pada tiga pilar utama. Pila-pilar tersebut
terdiri dari basis massa yang merupakan pola struktur sosialnya, basis ulama
yang merepresentasikan struktur kepemimpinan serta basis tradisi yang secara
kultural menjadi semacam sistem budaya yang mengikat visi keilmuan maupun belbagai
etiket keislaman yang mereka anut.[12]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
politik aliran adalah sebagai suatu kebijakan atau
siasat yang dijadikan haluan paham politik atau pandangan hidup oleh seseorang
atau kelompok masyarakat.
Kyai adalah orang yang memiliki ilmu agama
(Islam) plus amal dan akhlak yang sesuai dengan ilmunya.
Santri adalah orang yang berpegang teguh pada Iman,
Islam, Ihsan.
Abangan adalah sebagai
penduduk jawa muslim yang mempraktikkan islam dalam versi yang lebih sinkretik
bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks.
Kyai
dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran para politisi dalam
membangun basis dukungan politik. Pada setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maka
suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan saja oleh partai-partai politik
berbasis Islam saja melainkan juga partai-partai politik berbasis nasionalis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin, Ringkasan Shahih Muslim Jilid 2, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006).
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES, 1982).
Djamas, Nurhayati, Dinamika Pendidikan
Islam di Indonesia Pasca kemerdekaan,
(Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, 2008).
Geertz,
Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarkat Jawa. (Jakarta:
PT Dunia Pustaka Jaya, 1983).
Lubis, Saiful Akhyar, Konseling Islami Kyai dan
Pesantren, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2007).
Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik
Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta. Par Mas Dewa, Kiai Juga
Manusia, Mengurai Plus Minus Pesantren; Kiai, Gus, Neng, Pengurus & Santri.
(Probolinggo,PUSTAKA EL-QUDSI, 2009).
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU, (Surabaya:
Erlangga, 1992).
Muchtarom, Zaini, Santri
dan Abangan di Jawa. (Jakarta: Inis.1988), amadina. Mastuhu, 1999).
Mulkhan, Abdul
Munir, Runtuhnya Mitos Politik santri, (Yogyakarta: Rinneka
SIPRESS, 1992).
Rasyid,
Hamdan, Bimbingan Ulama; Kepada Umara dan Umat, (Jakarta: Pustaka Beta,
2007).
[1] Saiful Akhyar
Lubis, Konseling Islami Kyai dan Pesantren, (Yogyakarta, eLSAQ Press,
2007), hlm. 169.
[2] Hamdan Rasyid,
Bimbingan Ulama; Kepada Umara dan Umat,
(Jakarta: Pustaka Beta,
2007), hlm. 18.
(Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, 2008), hlm. 55.
[4] Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 56.
[5]
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim Jilid 2,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 8.
[7] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik
Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta. Paramadina. Mastuhu, 1999),
hlm.19-20.
[8] Mas Dewa, Kiai Juga Manusia, Mengurai Plus Minus
Pesantren; Kiai, Gus, Neng, Pengurus & Santri. (Probolinggo,PUSTAKA
EL-QUDSI, 2009), hlm.23 – 25.
[10] Geertz, Clifford, Abangan,
Santri, Priyayi Dalam Masyarkat Jawa. (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1983), hlm.16.
[11] Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik santri,
(Yogyakarta: Rinneka SIPRESS, 1992), hlm. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar